SOAL MENGENAI PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.
Bagaimana
seharusnya peran masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan?
Dalam membuat Undang-Undang masyarakat perlu dilibatkan sebagaimana
konsep dalam demokrasi serta konstitusi yang berlaku di Indonesia sesuai dengan
pasal 53 nomor 10 tahun 2004 yang berbunyi “keterlibatan masyarakat yang
berbunyi masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam
rangka penyampaian atau pembahasaan rancangan Undang-Undang dan rancangan
peraturan daerah”.
Saat pembuatan peraturan perundangan sebenarnya masyarakat sudah
diwakili oleh DPR. DPR yang sebagai masyarakat dalam hal ini mempunyai kewajiban
menampung segala aspirasi dari masyarakat yang kemudian dibahas forum. Dalam
pembuatan Undang-Undang pemerintah juga wajib melibatkan LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat), Ormas (Organisasi Masyarakat), Komunitas/element masyarakat
lainnya. Dengan keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan
berarti secara langsung memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam menentukan arah kebijakan. Keterlibatan masyarakat dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan dan pengundangan. Oleh karena
itu keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan merupakan bagian penting
untuk menentukan kualitas dari produk hukum yang dihasilkan.
2.
Bagaimana
pendapat anda terkait keberadaan UU
Cipta Kerja jika dilihat dari peran dan tujuan hukum?
Undang-Undang cipta kerja merupakan salah satu rangkaian dari omnibuslaw
yang merupakan sistem dengan tujuan merapikan Undang-Undang dan menghindari
timpang tindih antar Undang-Undang. Produk dari pada omnibuslaw yaitu uu cipta
kerja sebenarnya sudah menciderai daripada tujuan hukum itu sendiri yang sudah
ada pada konstitusi. Terdapat tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian
hukum, dan kemanfaatan hukum. Dalam hal kemanfaatan hukum, bisa dibilang Undang-Undang
ini Pro terhadap investor atau pemilik modal dan mengesampingkan masyarakat dan
aspek lingkungan. Mungkin dalam beberapa tahun yang akan datang ekenomi
Indonesia akan berkembang dengan pesat tapi tidak menutup kemungkinan akan
terjadi kerusakan lingkungan yang fatal dan timbul fenomena kelas sosial akibat
dari kesenjangan sosial yang tajam. Dalam hal kepastian hukum, masyarakat
dibingungkan dengan adanya pasal ghaib, yaitu Pasal 6 Bab III tentang
Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha yang merujuk pada Pasal 5
ayat 1, sedangkan dalam draft yang disebarkan oleh DPR, dalam Pasal 5 tidak
terdapat ayat 1. Selain itu, terdapat banyak simpang siur yang terjadi
dikarenakan draft UU Cipta Kerja berubah-ubah sehingga banyak
statement-statement masyarakat dan akhirnya tidak memenuhi kepastian hukum.
Dalam aspek keadilan, sesuai kata Airlangga bahwasanya maksud dari UU Cipta
Kerja ini bertujuan mempermudah untuk
mempekerjakan buruh dan memberhentikan buruh. Hal ini sudah bertolak belakang
dengan Pasal 27 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Jika
dikatakan hak maka negara berkewajiban menyediakan dan seharusnya tidak ada
pemecatan, sehingga para buruh bisa merancang masa depan dan mencapai
kesejahteraan sosial, dapat dikatakan bahwa UU Cipta Kerja ini tidak adil bagi
para buruh dan masyarakat kelas atas. Pengamat Ekonomi dari Institute for Development
of Economics (INDEF), Bhima Yudistira, mengatakan UU Cipta Kerja tidak
menyelesaikan penyebab utama rendahnya daya saing Indonesia.
Diungkapkan Bhima, sebanyak apa pun
aturan dan insentif yang diberikan pemerintah, selama penegakan hukum di Indonesia
masih lemah, sulit bagi Indonesia menarik banyak investasi asing.
Masalah utama lainnya yang jadi penyebab
rendahnya daya saing Indonesia juga diabaikan di UU Cipta Kerja yakni terkait
tingginya ongkos logistik dan buruknya konektivitas.
Tanpa mengesampingkan masalah isu
ketenagakerjaan, investor lebih sensitif terhadap kepastian hukum. Karena
lemahnya penegakan hukum, banyak biaya-biaya yang harus dikeluarkan investor
yang menanamkan modalnya di Indonesia.
3.
Bagaimana
pendapat anda terkait sikap pemerintah melakukan sosialisasi dan jaringan
pendapat dengan masyarakat sebagaimana dalam artikel tersebut? apakah hal
tersebut telah sesuai dengan pembentukan perundangan-undangan?
Menurut Sutaryo dalam bukunya "Dasar-Dasar Sosialisasi"(2004),
sosialisasi merupakan suatu proses
bagaimana memperkenalkan sistem pada seseorang, serta bagaimana orang
tersebut menentukan tanggapan serta reaksinya. Sosialisasi dibutuhkan dalam
membentuk suatu Undang-Undang. Kita ambil contoh dalam perumusan Undang-Undang
cipta kerja, minimnya sosialisasi menyebabkan munculnya statement-statement
tentang Undang-Undang yang kemudian dilabeli pemerintah sebagai hoaks. Hoaks
adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar
adanya. Sedangkan dalam faktanya draf Undang-Undang yang sebenarnya ada/resmi/final
belum dikeluarkan oleh DPR.
Hal tersebut tidak sesuai dengan
prosedur perumusan peraturan perUndang-Undangan, pun jika sosialisasi itu
terjadi hanya dilakukan di 18 kota dari
total 514 kota di Indonesia. Dan dari situ dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang
Cipta Kerja itu cacat formil dan tidak layak untuk diundangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar